Berbincang dengan Premana W. Premadi: Sains, Seni, Pendidikan, dan Perempuan
Semester genap lalu, saya mengambil kelas Jurnalisme Sains dan Teknologi yang diajar oleh Acep Iwan Saidi. Sebagai ujian akhir, kelas diberi tugas untuk mewawancarai dan menulis tentang seorang tokoh. Tanpa berpikir panjang, sosok Ibu Nana langsung muncul di kepala.
Terima kasih Pak Acep karena telah memberikan saya alasan konkret untuk mengajak salah satu idola saya untuk berbincang.
Premana Wardayanti Premadi, Ibu Nana, demikian beliau dipanggil oleh mahasiswanya di ITB, adalah seorang astronom Indonesia kesohor yang namanya telah disematkan menjadi nama salah satu asteroid. Menjabat sebagai direktur Observatorium Bosscha sejak 2018, Ibu Nana tinggal tidak jauh dari Gedung Koepel yang berkubah putih, rumah teleskop Zeiss, tempat Sherina bertualang.
Maret 2020 lalu, Bosscha memutuskan untuk menutup kunjungan publik sebagai tindak preventif penyebaran lokal COVID-19. Keputusan tersebut masih berlaku hingga kini karena pandemi yang tidak lekas khatam. Sudah lebih dari satu tahun Bosscha tidak dapat merasakan kehadiran fisik para pengunjung. Kendati observatoriumnya kosong, jadwal kegiatan Bosscha selama pandemi jauh dari melompong.
Segala bentuk kunjungan publik, siang maupun malam, yang biasanya rutin dilakukan hampir setiap minggu di Jl. Peneropong Bintang direlokasikan ke dalam layar virtual. Ibu Nana dan timnya di Bosscha sibuk melayani masyarakat dan sekolah-sekolah melalui pelbagai kegiatan yang diadakan secara daring; mulai dari kelas-kelas daring dengan topik astronomi yang bebeda setiap minggunya hingga pengamatan virtual langit malam.
Pelaksanaannya yang daring memungkinkan Bosscha untuk tidak terus hanya dikunjungi, melainkan berbalik berkunjung ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia, seperti Riau dan Papua. Informasi mengenai kesibukan Ibu Nana di Bosscha dapat ditemukan di situs web dan instagram Obsevatorium Bosscha.
Kamis, 6 Mei 2021, saya beruntung mendapat kesempatan untuk menyempil di antara kalender Ibu Nana yang padat untuk berbincang sejenak dengan beliau melalui panggilan video. Pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan dengan canggung kepada Ibu Nana–kebetulan beliau adalah salah satu idola saya–ditanggapi beliau dengan begitu subtil dan fasih. Waktu yang kurang dari satu jam cukup bagi percakapan kami untuk menyentuh beberapa topik di mana beliau menuangkan asanya.
Sains
Perjalanan karier Ibu Nana dalam bidang yang beliau mumpuni, sains, bermulai dari kegemarannya untuk merenung dan bertanya-tanya tentang segala soal yang melewati inderanya.
“Apakah orang lain juga melihat dan mendengar seperti apa yang saya lihat dan dengar? Makhluk hidup lain, hewan, melihat alam seperti apa? Kepala saya isinya pertanyaan-pertanyaan seperti itu,” ujar Ibu Nana.
Menurut beliau, sains adalah tempat yang tepat untuknya. Sains menawarkan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan seperti lamunan semata, cara untuk menjawab dan menyusun jawabannya. Ditambah lagi, sains juga memberikan pedoman cara untuk bertanya.
“Alam semesta ini ada batasnya atau tidak? Apakah alam semesta sesuatu yang selalu ada atau sesuatu yang berevolusi? Kita ada di mana di alam semesta? Pertanyaan-pertanyaan ini, saya rasa pernah ditanya semua orang, tetapi tidak semua orang mengelaborasi pertanyaan itu untuk bisa secara bertahap disusun jawabannya. Sains menyiapkan dan membukakan pintu untuk itu.”
Konstituen fundamental dari sains yang universal membuat sains sangat menarik. Sains adalah pengejawantahan dari pemikiran rasional. Apa pun cabang sains yang ditekuni, boleh itu physical science (ilmu fisika) atau social science (ilmu kemasyarakatan), semuanya didasari oleh cara pikir yang sama, rasional dan logis. “Itu sebabnya saya terjun sepenuh hati ke sains,” ucapnya.
Kombinasi kata ‘seni’ dan ‘budaya’ bukan sesuatu yang asing–seni adalah salah satu muatan dari budaya. Ibu Nana mengusahakan dan mengimpikan hari ketika kombinasi kata ‘sains’ dan ‘budaya’ ikut menjadi jamak.
“Itu yang saya perjuangkan. Budaya yang maju pasti harus memasukkan dan memajukan pemikiran rasional karena kita tidak hidup di dunia yang abstrak. Kita tinggal di dunia yang fisik sehingga ada banyak hal yang perlu kita pertimbangkan, putuskan,” cakapnya.
Setiap manusia dihadapkan dengan pilihan setiap waktunya. Pengambilan keputusan memerlukan bekal pemikiran rasional dan pengertian akan relasi kausal. Orang perlu paham dulu dampak dari setiap keputusannya, sebab-akibat dari pilihan yang dimilikinya, sebelum akhirnya bertindak sebab keputusan individu secara kolektif akan menjadi keputusan komunal.
“Sains adalah embodiment dari rational thinking. Jika itu dijadikan budaya bangsa, luar biasa! Tidak semua orang harus jadi saintis, tetapi mereka semua harus bisa ikut memiliki pikiran yang saintifik,” terang Ibu Nana.
Mengingat konteks pembicaraan kami adalah Indonesia, maka tidak dapat dihiraukan bahwa budaya-budaya di kepulauan ini terpatri dengan kepercayaan-kepercayaan lokal yang dilabeli mistis. Mengenalkan budaya baru yang bertolak belakang dengan tradisi tradisional ini, tentu menjadi sebuah tantangan yang besar.
“Kita ingin tradisi itu tetap ada karena di dalamnya tersimpan identitas suku bangsa. Namun, di pihak lain, kita juga harus bisa mengakui tidak semua hal-hal tradisional itu bisa diterima secara rasional. Bahkan, really conflicting dengan scientific evidence,” ujarnya.
Adalah tugas saintis untuk menyeimbangkan keduanya; pelan-pelan membuat masyarakat sadar porsi mana yang mitos dan mana yang riil. “Jika memang akhirnya itu mitos, kita bisa saja menyimpan itu dalam bentuk cerita tradisional, legenda.”
Gerhana Matahari total, suatu fenomena alam fisis, dapat dibilang sudah sepenuhnya dimengerti oleh saintis. Alur kejadian terhalangnya sinar Matahari oleh Bulan sudah tercetak di setiap buku IPA sekolah dasar. Namun, di sisi lain, dongeng yang mengisahkan tentang Matahari yang ditelan oleh makhluk mistis raksasa serupa naga sebagai penyebab gerhana Matahari total masih kental beredar di Indonesia.
“Hal ini tidak apa-apa sebagai tradisi. It’s fun! Orang tahu itu tidak benar. Tahun 2016, kita menerbitkan perangko dengan gambar naga menelan Matahari untuk menghormati tradisi yang masih ada dan masih indah itu. Indah tidak harus scientifically correct sepanjang dia memang berada di luar ranah sains,” ucap Ibu Nana.
Sistem dan Pendidikan
Fondasi terbaik untuk membangun dan mengasimilasi budaya baru–budaya berpikir rasional–adalah pendidikan. Dalam pidato Ibu Nana di Forum Pidato Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di tahun 2016, beliau menyampaikan keresahannya atas pendidikan dan kurikulum pendidikan di Indonesia. Ibu Nana percaya bahwa pendidikan merupakan bentuk investasi yang paling berharga; segala yang sedang dan akan terjadi berakar dari pendidikan.
“Masalah-masalah besar yang bangsa kita hadapi sekarang adalah impak akumulasi dari masalah pendidikan di Indonesia.”
Investasi dikatakan baik jika menghasilkan return yang positif. Dalam realita, return yang kita peroleh dari investasi pendidikan di Indonesia masih kurang baik; konsekuensi dari kualitas pendidikan yang belum merata dan juga masih kurang baik. Namun, itu bukan penyebab satu-satunya. Kurikulum pendidikan masih gagal untuk memastikan pilihan karier peserta didiknya linier dengan jurusan yang sudah Ia tamati.
“Secara umum, tidak apa-apa tidak bekerja di bidang yang sama, tetapi jangan sampai area yang sebetulnya perlu ada orang kompeten di situ dan sebetulnya ada orang yang dididik dan dilatih di bidang itu, Ia malah bekerja di tempat yang lain,” jelasnya.
Bangsa ini memerlukan sekali kehadiran orang-orang yang kompeten di dunia STEM–Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika. Dalam kenyataannya, para insinyur dan saintis yang telah menyelesaikan studinya lebih banyak memilih berkerja di lapangan komersial. “Bukan salah orangnya, tetapi karena sistem, terutama sistem finansial di negara-negara seperti kita. Lebih menguntungkan untuk orang bekerja di dunia trading atau komersial dibandingkan di dunia sains atau teknik.”
Indonesia bukan melulu perihal ibu kota, Bandung, Surabaya, atau Pulau Jawa. Pembangunan harus terlaksana secara merata. Untuk itu, sumbangsih dari para insinyur dan saintis domestik sangat diharapkan.
“Kalau saya ke timur, saya masih melihat daerah yang masih belum mempunyai listrik, jalan masih kacau, pendidikan masih seperti di tahun 50-an. Mereka sendiri terkadang menganggap mereka belum merdeka sepenuhnya karena pembangunan mereka jauh tertinggal. Sementara lulusan ITB berbondong-bondong ke Jakarta. Itu maksud saya, investasi pendidikan masih belum kembali dengan baik.”
Persoalan lain lagi: kebutuhan fisiologis atau kebutuhan primer penduduk di Indonesia juga belum terpenuhi secara merata. Melirik teori hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan-kebutuhan pada tingkat rendah, seperti kebutuhan primer dan kebutuhan akan rasa aman–dalam segala aspek, termasuk finansial–perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum seseorang termotivasi untuk memenuhi kebutuhan keingintahuannya.
“Tentu itu kondisi ideal, di mana kebutuhan primer terpenuhi, tetapi kondisi terpenuhinya kebutuhan primer masih belum tentu dapat menjamin kualitas pendidikan.”
Meninjau negara-negara maju di Skandinavia, kualitas pendidikan di sana sudah sangat baik, ditambah kehidupan seluruh penduduknya sudah sejahtera. Mereka telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan manusia untuk hidup sehingga kebutuhan fisis dan mental menjadi seimbang. Namun, jika melihat lebih jauh ke barat, ke Amerika Serikat, kualitas pendidikan di sana dapat dibilang setara dengan Skandinavia, tetapi kesejahteraan penduduknya masih sering dipertanyakan.
Meskipun demikian, perlu diingat pula bahwa populasi di negara Skandinavia cenderung homogen dan tidak terlalu besar; tidak seperti AS yang berpopulasi masif dan masih digerogoti masalah imigrasi.
“Tetapi ada juga negara-negara yang ekonominya masih morat-marit, tetapi kualitas pendidikannya baik, misalnya India. Ada suatu mentalitas di dalam bangsa tersebut di mana pendidikan didahulukan, diprioritaskan. Mereka tahu bahwa tanpa itu (pendidikan) atau jika urusan sekolah dan rational thinking belum beres, urusan memberi makan penduduk tidak akan selesai,” ujar Ibu Nana.
Pendidikan di Indonesia sudah jauh lebih berkembang dari awal abad 20. Menurut Ibu Nana, tingkat literasi–bisa baca-tulis sedikit-sedikit–masyarakat pun mungkin sudah mencapai 100% untuk generasi yang berumur di bawah 80 tahun. Perkara Indonesia kiwari adalah minat membaca yang masih rendah serta kurikulum pendidikan yang hanya mengajari pelajarnya apa yang harus dibaca, bukan mengapa Ia perlu membaca; sama halnya dengan berpikir, pelajar diajari apa yang harus dipikirkan, bukan bagaimana Ia harus berpikir. Pedagogi demikian perlu diperbaiki.
Seni
Tepat di akhir tahun 2020, Ibu Nana sempat menulis sebuah artikel di Kompas–mungkin sebagai hadiah tahun baru–yang mendesiminasikan bahwa sains saja tidak cukup untuk menjadikan manusia penuh. “Menurut saya, sains dan seni, keduanya elemen penting untuk menjadikan manusia utuh. Ada elemen lain yang belum saya sebut, tetapi sains dan seni itu bagian dari bagaimana kita mempersepsi lingkungan. Sains itu lebih banyak bertanya-tanya dan mengelaborasi jawaban, sementara seni, dia bisa menuangkan apa yang diindera,” ungkap Ibu Nana.
Keduanya bertemu di jiwa maupun pikiran manusia dan keduanya mengangkat hal-hal indah yang sifatnya esensial dari kehidupan manusia. Namun, keindahan adalah pengalaman yang subjektif, berbeda-beda untuk setiap orang dan berbeda-beda dalam setiap domain.
“Keindahan dalam sains bisa muncul dalam bentuk keseimbangan yang elegan. Persamaan medan Einstein itu elegan sekali. Bukan dari tampilan rumusan matematiknya, tetapi bagaimana Ia mencakup fenomena fisis dari yang memiliki gravitasi lemah hingga sangat kuat. Banyak hal juga muncul dari persamaan itu, persamaan yang orang bilang sederhana. Menurut saya itu indah,” ujarnya.
Keindahan yang dimuat dalam seni tertuangkan dalam kombinasi warna, komposisi, ritme, susunan rupa, dan elemen lainnya. Perasaan manusia, aspirasi manusia diberi ruang yang indah untuk bernafas oleh seni.
Monolog yang disampaikan oleh karakter yang diperankan oleh Robin Williams dalam film Dead Poet Society (1989) sekonyong-konyong melintas di kepala saya saat bercakap soal topik ini.
“Sains, hukum, bisnis, dan teknik adalah pekerjaan yang mulia dan diperlukan untuk memastikan keberlangsungan kehidupan manusia. Namun, sastra, keindahan, dan cinta, inilah yang membuat kita ingin tetap hidup.”
Ibu Nana tersenyum sebab mengenali dan mengangguk setuju dengan kutipan dari film itu. “Orang bisa masuk dalam apa yang disebut indah dari berbagai pintu. Alangkah menyenangkannya jika indah bisa dilihat bukan dari satu sisi saja. Semakin mudah kita menemukan keindahan, semakin happy kita,” ucapnya.
Perempuan dan Masa Depan
Fakta bahwa persentase peran perempuan di dunia STEM masih rendah tidak dapat ditampik. Langgam di mana perempuan tidak diasosiasikan dengan profesi STEM masih cukup mendarah daging. “Padahal dari sisi kemampuan, sebetulnya tidak perlu ada pemisahan (gender) seperti itu. Secara pemikiran tradisional, perempuan lebih banyak mengurusi rumah, sehingga sebetulnya, bukan hanya STEM saja, tetapi juga dalam dunia profesional, untuk waktu yang lama, mereka tidak sepenuhnya terbuka untuk perempuan,” terang Ibu Nana.
Menurut beliau, jika dilihat dari kontribusi per individu, kualitas kerja perempuan maupun laki-laki sama baiknya. Di Indonesia, akses pendidikan formal sudah lama tidak mendiskriminasi perempuan, tetapi bagaimana dengan dunia profesi? Sikap dunia profesi dalam mendukung kehadiran perempuanlah yang perlu diperhatikan. Apabila dunia profesional memiliki sistem yang suportif terhadap kehadiran perempuan, maka representasi perempuan di dunia profesional–yang masih dianggap bukan miliknya–semestinya setara dengan laki-laki.
“Jadi, sebetulnya (masalahnya) bukan dari substansi topiknya, bukan dari kompetensi perempuannya, tetapi lebih pada kesempatan bagi perempuan untuk bisa berkontribusi sama baiknya (dengan laki-laki),” tuturnya.
Perempuan yang tidak ingin berkiprah di ladang profesional sehabis menyelesaikan pendidikannya, dan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, memiliki peran yang tidak kalah penting dengan wanita karier. Menjadi ibu sama dengan menjadi pendidik nomor satu. Bayangkan apabila semua ibu mempunyai bekal pendidikan yang cukup dan memiliki bekal pemikiran rasional yang baik, dijamin seluruh balita akan terbekali dengan kecerdasan.
“Buat saya, ibu yang berpendidikan adalah modal bangsa yang tidak ternilai. Itu sebabnya perempuan yang berpendidikan amat penting sekali untuk kemanusian; karena dari ibulah kamu pertama kali belajar sesuatu.”
Anak-anak di Indonesia perlu berkenalan dengan alam semesta sejak usia dini, tempo Ia belum memiliki bias kognitif. Membuat anak relate dengan alam semesta akan menciptakan rasa kepedulian terhadap planet tengah Ia berada. Belia yang menghargai keistimewaan Bumi dan dapat memposisikan dirinya di Bumi pasti akan berkecamuk untuk merawatnya.
Pengenalan dini dapat dilakukan melalui astronomi. Astronomi tidak selalu seperti yang orang bayangkan, memikirkan langit dan bermimpi-mimpi tentangnya. Astronomi dapat berkontribusi dalam upaya pencapaian sustainable development goals; Ia bisa menjelaskan asal dari air dan asal dari energi. Ibu Nana yang tergabung dalam organisasi Universe Awareness (UNAWE)–bersama-sama–mengusahakan pendidikan terkait untuk masyarakat, khususnya anak-anak.
Melalui UNAWE, usaha pendidikan tidak perlu dimulai dari nol. UNAWE memiliki jejaring dan koneksi yang luas dengan organisasi astronomi Indonesia maupun internasional. “Semangat berbagi dari UNAWE sangat luar biasa. Saya belajar banyak sekali tentang bagaimana orang bisa berbagi. Walaupun kesannya Indonesia tidak punya apa-apa, tetapi ternyata astronomi Indonesia turut amal dalam community development, terutama untuk pendidikan masyarakat,” jelasnya.
Melihat populasi yang tidak berhenti berlipat ganda dan sumber daya alam yang semakin menyusut, tantangan yang nantinya akan dihadapi oleh anak-anak muda untuk menopang kehidupan manusia akan jauh lebih besar. Kesadaran akan realita ini harus disegerakan. “Belajar tentang astronomi adalah cara yang umumnya menyenangkan untuk memulainya,” ucap beliau semangat.
Ibu Nana menaruh harapan pada anak-anak muda untuk menciptakan masa depan yang lebih baik–adil dan sejahtera–bukan untuk segelintir orang saja, melainkan untuk semuanya. “Kalau kita sungguh mau, maka akan ada banyak jalan. Jadi, jangan terlalu menunggu. Dunia tidak akan mengubah dirinya untuk kita. Kita yang harus mengubah dunia.” Berjejaring menjadi sangat krusial dalam menghadapi masa yang akan datang. “Setiap orang butuh dukungan. Jadi, think individually but also think as a community. Dengan begitu, kita akan semakin kuat; kita maju bersama-sama.”